Presiden & Menteri Berkampanye, Masyarakat Makin Curiga & Pertanyakan Kredibilitas Jokowi

Januari 25, 2024 - 09:09
Presiden & Menteri Berkampanye, Masyarakat Makin Curiga & Pertanyakan Kredibilitas Jokowi
pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang mengatakan presiden dan menteri boleh berkampanye serta berpihak kepada pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) tertentu menuai pro kontra / foto ist
Spot Iklan Tersedia (Posting Atas)

Jakarta, Maximadaily.com - Dewan Pakar TPN Ganjar-Mahfud, Muhammad AS Hikam merespons pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang mengatakan presiden dan menteri boleh berkampanye serta berpihak kepada pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) tertentu.

Spot Iklan Tersedia (Artikel 1)

Secara etika, pernyataan Presiden Jokowi, dinilai tidak tepat. Publik akan meninjau ulang kredibilitas Jokowi sebagai presiden, karena beberapa waktu lalu ia pernah mengatakan, Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan Polri harus netral. Ironisnya, kini Jokowi mengatakan hal sebaliknya. 

" etika dia mengatakan sebaliknya, masyarakat jadi ingat perkataannya yang sering berkata sebaliknya. Kalau sudah persoalan etika, ya sanksi hukumnya memang tidak ada. Tapi, publik akan menilai kredibilitas Jokowi dan mendorong masyarakat semakin mencurigai adanya politik dinasti,” ujar Hikam di Tangerang Selatan, Provinsi Banten, Rabu (24/1/2024).

Secara terpisah, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menanggapi pernyataan Jokowi sebagai pelanggaran hukum dan etika. Menurut Bivitri, anggapan regulasi membolehkan presiden dan menteri berpihak, itu salah. 

"Mungkin Pak Jokowi mengacu pada e Pasal 282 UU Pemilu, tapi sebenarnya ada Pasal 280, Pasal 304, sampai 307," ujar Bivitri.

Lebih lanjut Hikam mengungkapkan, dari sudut pandang politik dinasti, sangatlah sulit memisahkan fakta Jokowi sebagai Presiden dan pencalonan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres. Apalagi Jokowi mengatakan, hal ini saat menghadiri acara di Kementerian Pertahanan, yang dipimpin Prabowo Subianto, yang adalah Capres Nomor Urut 2. 

“Publik semakin disodori bukti keberpihakan dan publik akan mencatat. Saya kira, nggak pas kalau seorang presiden dan kepala pemerintahan memihak. Persoalannya sekarang ada pada kata memihak. Bukan soal kampanye, karena kalau kampanye, legalitasnya ada,” tegasnya. 

*Membatasi Kekuasaan*

Menristek pada era kepemimpinan Presiden Abrurrahman Wahid (Gus Dur) itu, juga mengungkapkan, Jokowi merasa nyaman bermain dengan caranya sendiri, karena tidak pernah bertarung pada Reformasi ‘98.

“Negara ini, idealnya seperti yang diinginkan Reformasi 98. Terbuka peluang bagi siapa saja untuk memimpin. Jokowi nggak pernah mengalami pertarungan reformasi. Dia nyaman dan dia bermain dengan caranya sendiri,” ujarnya.

Hikam merefleksikan situasi ini dengan teori demokrasi. Ketika berada di puncak kekuasaan, manusia cenderung bertahan dan memperluas kekuasaan. Oleh karena itu, menurut Hikam, perangkat demokrasi adalah membatasi kekuasaan. 

“Demokrasi dibutuhkan karena para filsuf demokrasi sadar tidak mungkin orang berkuasa tanpa bertahan dan memperluas kekuasaannya. Makanya perangkat demokrasinya adalah membatasi,” kata penulis buku berjudul “Demokrasi dan Civil Society“ itu. 

Sementara itu, dari sudut pandang legal formalitas, Hikam berpendapat siapa pun bisa saja merujuk norma dan pasal sebagai dasar tindakannya. Namun, hal itu juga bisa dibantah menggunakan pasal lain.

“Kalau melihat dari legal form, siapa pun bisa saja memilih norma atau mengkritik menggunakan pasal lain. Jangan lupa, ada pasal lain juga yang bisa mengkritisi pendapat itu. Memang, akan selalu begitu. Jokowi kan punya penasihat hukum dan punya sandaran yang kuat kalau dari sisi legal formal. Dua sarjana hukum, bisa tiga pandangannya,” papar Hikam. (red)

Apa Reaksi Anda?

like

dislike

love

funny

angry

sad

wow

Spot Iklan Tersedia (Posting Bawah)