Presiden & Menteri Boleh Kampanye, Ini Soal Etika & Tetap Saja Gagal Paham
Jakarta, Maximadaily.com - Wakil Ketua Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Ammarsjah Purba mengkritisi pernyataan Presiden RI, Joko Widodo yang mengatakan presiden dan menteri boleh berkampanye serta berpihak pada pasangan Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) tertentu.
“Memang tersedia regulasi, bahwa presiden boleh berkampanye bagi pasangan tertentu, namun ini persoalannya lebih pada etika, bahwa di atas hukum masih ada etika,” ujar Wakil Ketua TPN, Ammarsjah Purba saat dihubungi di Jakarta, Minggu (28/01/2024).
Ammar berpendapat, bahwa keberpihakan presiden akan berdampak secara substansial pada Pemilu 2024, salah satu yang menjadi perhatian adalah potensi penyelewengan anggaran publik.
“Dalam konteks anggaran publik, presiden memiliki otoritas pemanfaatan anggaran untuk perlindungan sosial periode 2019-2024 sejumlah Rp 2.668 triliun, dan anggaran bansos sebesar Rp 953,9 triliun. Ini hanya salah satu contoh ketidakadilan dari sisi logistik capres-cawapres, ketika presiden benar-benar berkampanye. Itu sebabnya kita paham sekarang, mengapa akhir-akhir ini Presiden Jokowi sering terjun ke daerah, dan kemudian bagi-bagi bansos,” tambah Ammar.
Menurutnya, netralitas presiden adalah sesuatu yang prinsipil, mengingat posisi presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI, membawahi Polri dan BIN (Badan Intelijen Negara). Ammar mengkhawatirkan, bila presiden tidak netral, bisa memanfaatkan aparat lembaga negara yang sesuai undang-undang, diperkenankan menggunakan alat kekerasan.
“Ini seolah-olah menjadi pembenaran bila aparat mendukung paslon tertentu, dan negara menjadi permisif bila ada aparat melakukan tindak kekerasan terhadap warga yang sedang arak-arakan saat kampanye massal, kenyataan ini menjadi keprihatinan kita semua, atas realitas yang benar-benar tidak adil,” tegasnya.
Ammar juga menyoroti dampak kampanye presiden di tingkat daerah, di mana pejabat daerah dapat terlibat dalam mempengaruhi opini publik terhadap paslon tertentu. Ini menunjukkan perlunya pengawasan dan regulasi yang ketat terhadap perilaku pejabat publik dalam proses politik, untuk memastikan bahwa tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan atau pelanggaran etika yang merugikan demokrasi.
“Niat presiden untuk kampanye akan berdampak di daerah, seperti di provinsi, kabupaten dan kota. Menjadi keprihatinan kita bersama, ketika pejabat daerah mengajak publik memilih paslon tertentu, yang sudah sering terjadi, terlebih di pelosok luar Jawa, ketika gerakan masyarakat sipil belum sekuat di Jawa,” jelas Ammar.
“Memang tidak ada solusi instan, karena sekali lagi ini soal etika, bila pejabat publik sudah tidak memiliki etika, masyarakat hanya bisa mengelus dada. Artinya perjuangan kita masih panjang, bagaimana menghentikan politik dinasti di depan mata yang mencederai demokrasi,” pungkas Ammar. (red)
Apa Reaksi Anda?